Refleksi Hari Pendidikan Nasional: Jangan Abaikan Akselerasi Literasi

Armiwati, dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Jambi mengajak para orang tua untuk menyadari peningkatan kualitas dan kuantitas budaya baca dan potensi untuk membiasakan budaya baca dan ketersediaan sumber bacaan.

Salah satu contoh pojok baca di rumah siswa yang digagas oleh Sampurna, Guru SDN 005 Kuala Tungkal, Jambi.

Mari sejenak mengalihkan fokus dari tamparan hasil survei kelas dunia tentang budaya baca di Indonesia. Ada fakta di depan mata yang membuat batin ini merasa optimis tentang peningkatan kualitas dan kuantitas budaya baca yang sudah terbangun.

Akan tetapi hal ini akan sia-sia jika kita tidak menyadarinya bahwa fakta ini nyata dan merupakan potensi besar atau kita abai dengan keteladanan, pembiasaan dan ketersediaan.

Orang tua dan guru bagaikan diberi hadiah sebuah kue ‘original’ polos dan berkualitas.

Tinggal menunggu kue tersebut mau dibentuk apa selanjutnya: dihias motif batik, tiga dimensi, karakter, motif lukis atau banyak sekali yang bisa dikreasikan untuk menghias kue tersebut hingga menjadi lebih bernilai kompetitif; atau cukup seperti apa adanya; atau dibiarkan begitu saja hingga kedaluwarsa, berjamur dan menjadi sumber penyakit yang tak berharga.

‘Bermain dan berliterasi’ menjadi warna baru yang mengalir dan terintegrasi secara alamiah di kalangan anak-anak kita, baik anak-anak yang berusia tingkat sekolah dasar maupun menengah.

Potret seperti ini sangat mudah ditemukan walaupun dalam kondisi yang masih terbatas karena harus menegakkan protokol kesehatan.

Hak anak adalah bermain dan berinteraksi dengan teman sebaya. Layaknya kolaboratif learning di kelas, kegiatan ini terbangun secara alamiah dalam bermain.

Beberapa catatan pengamatan penulis di lapangan pada tempat dan peristiwa yang berbeda dapat membangun harapan baru. Ada keunikan yang terbangun dan cukup mencengangkan jika ditelisik dari pemodelan dalam berliterasi.

Budaya baca mulai menjadi bagian dari aktivitas anak-anak meskipun mereka sedang bermain.

Sekelompok anak usia sekolah dasar bermain dengan rentang perbedaan usia mereka 2-3 tahun dan ada adik yang ikut kakaknya bermain.

Anak-anak ini berada dalam satu lingkungan: salah seorang di antaranya bawa hamster dalam kandang kecil sederhana yang bisa dijinjing ke mana-mana dan salah satu lagi menggendong kucing kampung biasa.

Hanya bermula dari si kucing menggigit-gigit tubuhnya timbul pertanyaan, komentar dan pendapat ala anak-anak sesuai dengan usianya. Layaknya diskusi di kelas. Dalam kelompok ini, timbul komentar mengapa kucing tersebut menggigit-gigit tubuhnya apa tidak sakit.

Anak yang lebih besar menyuruh teman bermainnya yang mencari kutu kucing pada teman yang membawa gawai.

Mereka dapat gambaran yang jelas tentang kutu kucing lewat gawai. Istimewanya, karena hanya satu yang membawa gawai, ia membaca nyaring informasi tentang kutu kucing tersebut.

Anak-anak yang lain antusias mendengar/menyimak. Setelah selesai dibacakan, ada bersuara lantang mengajak mencari informasi lain dari referensi dokter hewan. Gambaran yang menunjukkan tingkat literasi dari anak kelas tinggi!

Informasi yang didapatkan menyatu dengan informasi lain yang terkait, seperti bagaimana kucing mengatasi rasa gatal tersebut dan bahayanya serta cara sederhana mengatasinya kemudian mereka bergantian melihat gambar kutu kucing, kucing sehat, kucing yang terserang kutu akut dan lain-lain secara bergantian.

Hal ini sangat menarik bagi mereka. Berdasarkan informasi tersebut mereka seperti berdiskusi ala anak-anak: saling berpendapat, komentar dan mengatakan pengalaman pribadinya tentang kucing di sekitar mereka.

Adik mereka yang lebih kecil serius mendengarkan dan mengikuti gambar yang ada. Diskusi dan pengamatan mereka lanjut ke hamster tetap menggunakan dawai sebagai sumber informasinya.

Seru, mengalir lancar, sambil bermain dan gembira sambil melompat lompat khasnya anak-anak.

Jika diurut apa yang dilakukan anak-anak ini dalam bermain, mereka sudah melaksanakan kegiatan bermain dengan menerapkan metode ilmiah sederhana.

Mulai dari mengidentifikasi masalah atau gejala. Kucing gigit-gigit tubuhnya dan membersihkannya dan merapikannya dengan air liurnya.

Hal ini jadi pertanyaan bagi mereka dan mereka mengeluarkan pendapatnya. Kemudian ‘hipotesis’ anak yang lebih besar mengatakan kutu, yang lain mengatakan kucingnya mandi.

Kemudian mereka mencari informasi lewat gawai terkait kutu kucing, cara kucing mengatasi gatal akibat hama kutu tersebut dan gambar kucing yang sehat, terserang kutu akut lengkap dengan gambarnya. Semua jadi diskusi alot dan unik didengar khasnya anak-anak.

Kemudian pencarian melalui gawai, pindah ke hamster dengan pertanyaan “jangan -jangan hamster aku juga punya kutu”.

Tidak perlu didefinisikan lagi anak ini bermain sambil belajar atau belajar sambil bermain. Kolaborasi yang unik dan rapi, mengalir dan dilakukan dengan senang hati tanpa beban karena dalam kemasan aktivitas bermain.

Seperti sebuah peragaan pembelajaran aktif kolaboratif mapel IPA, Bahasa Indonesia; keterampilan berbahasa membaca, menyimak, berbicara semua terintegrasi dan ada penerapan literasi untuk kecakapan hidup.

Tanpa dikondisikan sambil bermain mereka jadi tahu beraneka bidang ilmu. Seperti peragaan pembelajaran kolaboratif dengan pendekatan berbasis masalah, nyata dan mudah ditemui di hadapan kita dalam berbagai versi berbalut perilaku berliterasi dan ber-gawai secara cerdas.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.