Perpindahan proses pembelajaran mendadak ke ruang maya tak jarang membuat orang tua merasa kewalahan dalam mendampingi anak belajar di rumah, sementara anak juga mengeluhkan rasa bosan serta kelelahan akibat terus-menerus memandangi layar gawai. Kondisi ini masih diperparah oleh kesenjangan digital di Indonesia.
Untuk menghindari terjadinya lebih banyak kehilangan kemampuan dan pengalaman belajar (learning loss), pada Januari lalu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mulai mengizinkan sekolah-sekolah untuk mengadakan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas seiring dengan tetap diberlakukannya pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Kembali ke sekolah
Dengan diberlakukannya Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri yang mengatur tentang PTM terbatas pada Maret lalu, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Makarim menyatakan bahwa orang tua bebas memilih apakah siswa akan terus mengikuti PJJ atau menjalani PTM di sekolah.
“Untuk kelas daring, harus dipastikan satuan pendidikan beserta keluarga dapat memfasilitasi pemanfaatan teknologi digital pada siswa serta kesiapan guru dalam mendampingi peserta didik,” ujar Dra. Sri Wahyuningsih, M.Pd., Direktur Sekolah Dasar, Ditjen PAUD Kemdikbud ketika mengisi acara talkshow Parenting di Tanoto Foundation.
“Tentu kami mendorong agar PTM dilakukan secara optimal di sekolah. Dengan protokol kesehatan yang ketat, kami juga mendorong terbangunnya perilaku hidup bersih dan sehat agar lingkungan sekolah betul-betul aman dan kondusif untuk anak belajar.” tambah Wahyuningsih.
Bentuk dukungan orang tua
Merryen Silalahi, Manajer Program PINTAR Tanoto Foundation juga mengajukan enam hal yang dapat dilakukan orang tua dalam mempersiapkan anak-anak kembali ke sekolah, yaitu istirahat, memberi tahu, berdiskusi, praktik, perhatian, dan respek.
Waktu istirahat yang cukup merupakan salah satu elemen paling penting dalam perkembangan anak-anak. Dalam PJJ, sangat mungkin anak-anak kurang mendapat waktu istirahat atau tidur yang cukup karena selalu terpapar gawai. Kemudian, beri tahu anak-anak bahwa sekolah kini telah dibuka dan mereka punya pilihan untuk belajar seperti sediakala. Ungkapkan secara terperinci apa yang akan mereka hadapi di sekolah serta apa saja yang harus dipersiapkan di rumah.
Dengan berdiskusi, anak-anak juga dilatih untuk berbicara secara terbuka dan jujur mengenai perasaannya, termasuk bila ada rasa takut kembali ke sekolah. “Saya sering sampaikan pada anak-anak saya tentang PTM, saat itu mereka excited tapi mereka juga bilang, ‘Sepertinya lebih enak PJJ, lebih santai’. Hal-hal ini yang harus kita diskusikan,” ungkap Merryen.
Praktik membuat kita terbiasa menerapkan rutinitas hidup sehat di rumah. Orang tua juga dapat melibatkan kreativitas supaya anak tidak bosan. “Misalnya di acara ulang tahun, nyanyikan 4M atau ‘Cuci tangan pakai sabun’,” ujar Merryen sambil mencontohkan dalam nada lagu “Selamat Ulang Tahun”. “Minta mereka buat tulisan juga untuk ditempel di kamar, ini renewal bagi mereka untuk terus mengingat.”
Dalam hal perhatian, anak-anak harus selalu teliti dan menjaga apa pun yang mereka bawa ke sekolah, misalnya bekal makanan atau minuman. Kemudian tentang respek, ajarkan anak-anak untuk bersikap lebih welas asih dan menghargai orang lain. Terutama dalam masa pandemi seperti saat ini, orang tua sepatutnya mengajarkan anaknya untuk lebih bertenggang rasa bila ada teman atau gurunya yang jatuh sakit.
Gotong royong
Bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, survei yang dilakukan Tanoto Foundation menunjukkan ketimpangan kesiapan sekolah-sekolah mitra yayasan dalam PJJ. Untuk menjembataninya, Tanoto Foundation mengadakan pelatihan bagi guru dan kepala sekolah dari Mei hingga Juli.
“Kami juga sampai pada sebuah modul yang akan menjawab kebutuhan siswa dalam hal blended learning,” kata Merryen, mengacu pada metode pembelajaran virtual dan fisik. “Anak-anak kita sekarang dalam 10 dan 20 tahun ke depan adalah generasi penerus. Kolaborasi Tanoto Foundation dengan Kemendikbud pastinya untuk menyelamatkan generasi ini.”
Wahyuningsih juga mengutarakan bahwa tidak semua orang tua sungguh-sungguh terlibat dalam pendidikan anak-anaknya. Ia mengimbau agar orang tua dapat mengemban peran yang lebih bermakna. “Pendidikan adalah segitiga emas, artinya harus terbangun kolaborasi atau kerja sama antara orang tua, guru dan anak,” katanya.
Ia menekankan agar orang tua dan guru sama-sama berkomunikasi dengan terbuka demi siswa didik. Orang tua, misalnya, dapat bercerita pada guru tentang kebiasaan anak di rumah, sehingga masing-masing pihak dapat menjalin kerja sama yang baik demi pendidikan terbaik bagi murid.
“Bagi orang tua, saya mohon dukungannya untuk mendorong anak-anak melalui komunikasi yang baik. Dukungan yang baik ini supaya anak-anak tidak trauma dan tidak khawatir terhadap PTM.” tutup Wahyuningsih.